Kamis, 29 Januari 2009

Hukum Multi Level Marketing (MLM)

Penulis: Al-Ustadz Dzulqarnain


Pengantar

Termasuk masalah yang banyak dipertanyakan hukumnya oleh kaum muslimin
yang cinta untuk mengetahui kebenaran dan peduli dalam membedakan halal
dan haram adalah masalah Multi Level Marketing (MLM). Transaksi dengan
sistem MLM ini telah merambah di tengah manusia dan banyak mewarnai
suasana pasar masyarakat. Maka sebagai seorang pebisnis muslim, wajib
untuk mengetahui hukum transaksi dengan sistem MLM ini sebelum bergelut
didalamnya. Sebagaimana prinsip umum dari ucapan ‘Umar
radhiyallahu’anhu:


“Jangan ada yang bertransaksi di pasar kami kecuali orang yang telah
paham agama.” (Dikeluarkan oleh At-Tirmidzy dan dihasankan oleh Syaikh
Al-Albany)

Maksud dari ucapan ‘Umar adalah bahwa seorang pedagang muslim
hendaknya mengetahui hukum-hukum syariat tentang aturan berdagang atau
transaksi dan mengetahui bentuk-bentuk jual-beli yang terlarang dalam
agama. Dangkalnya

pengetahuan tentang hal ini akan menyebabkan seseorang jatuh dalam
kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah kita saksikan tersebarnya praktek
riba, memakan harta manusia dengan cara yang batil, merusak harga
pasaran dan sebagainya dari bentuk-bentuk kerusakan yang merugikan
masyarakat, bahkan merugikan negara.

Maka pada tulisan ini, kami akan menampilkan fatwa ulama terkemuka di
masa ini. Mereka yang telah di kenal dengan keilmuan, ketakwaan dan
semangat dalam membimbing dan memperbaiki umat.

Walaupun fatwa yang kami tampilkan hanya fatwa dari Lajnah Da’imah ,
Saudi Arabia , mengingat kedudukan mereka dalam bidang fatwa dan riset
ilmiah. Namun kami juga mengetahui bahwa telah ada fatwa-fatwa lain
yang sama dengan fatwa Lajnah Da’imah tersebut, seperti fatwa Majma’
Al-Fiqh Al-Islamy (Perkumpulan Fiqh Islamy) di Sudan yang menjelaskan
tentang hukum Perusahaan Biznas (Salah satu nama perusahaan MLM).

Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan ini dikeluarkan pada tanggal 17
Rabi’ul Akhir 1424 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juni 2003 M pada
majelis no. 3/24. kesimpulan dari fatwa mereka dalam dua
poin-sebagaimana yang disampaikan oleh Amin ‘Am Majma Al-Fiqh Al-Islamy
Sudan, Prof. DR. Ahmad Khalid Bakar-sebagai berikut:

“Satu, sesungguhnya bergabung dengan perusahaan Biznas dan yang
semisal dengannya dari perusahaan-perusaha an pemasaran berjejaring
(MLM) tidak boleh secara syar’i karena hal tersebut adalah qimar.[1]

Dua, Sistem perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari
perusahaan-perusaha an berjejaring (MLM) tidak ada hubungannya dengan
akad samsarah[2]-sebagaimana yang disangka perusahaan (Biznas) itu dan
sebagimana mereka mengesankan itu kepada ahlul ilmi yang memberi fatwa
boleh dengan alasan itu sebagai samsarah di sela-sela pertanyaan yang
mereka ajukan kepada ahlul ilmi tersebut dan telah digambarkan kepada
mereka perkara yang tidak sebenarnya-.”

Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan di atas dan pembahasan
bersamanya telah dibukukan dan diberi catatan tambahan oleh seorang
penuntut ilmu di Yordan, yaitu syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halaby.

Sepanjang yang kami ketahui, belum ada dari para ulama ayang
membolehkan sistem Multi Level Marketing ini. Memang ada sebagian dari
tulisan orang-orang yang memberi kemungkinan bolehnya hal tersebut,
tapi datangnya hanya dari sebagian para ulama yang dikabarkan kepada
mereka sistem MLM dengan penggambaran yang tidak benar-sebagaimana
dalam Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy-atau sebagian orang yang
sebenarnya tidak pantas berbicara dalam masalah seperti ini.

Akhirulkalam, semoga apa yang tertuang dalam tulisan ini ada
manfaatnya untuk seluruh pembaca dan membawa kebaikan untuk kita.
Wallahula’lam

Fatwa Lajnah Da’imah pada tanggal 14/3/1425 dengan nomor (22935)

Telah sampai pertanyaan-pertanya an yang sangat banyak kepada
Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta[3] tentang
aktifitas perusahaan-perusaha an pemasaran berpiramida atau berjejaring
(MLM)[4] seperti Biznas dan hibah Al-Jazirah. Kesimpulan aktifitas
mereka adalah meyakinkan seseorang untuk membeli sebuah barang atau
produk agar dia (juga) mampu meyakinkan orang-orang lain untuk membeli
produk tersebut (dan) agar orang-orang itu juga meyakinkan yang lainnya
untuk membeli, demikian seterusnya. Setiap kali bertambah tingkatan
anggota dibawahnya (downline), maka orang yang pertama akan mendapatkan
komisi yang besar yang mencapai ribuan real. Setiap anggota yang dapat
meyakinkan orang-orang setelahnya (downline-nya) untuk bergabung, akan
mendapatkan komisi-komisi yang sangat besar yang mungkin dia dapatkan
sepanjang berhasil merekrut anggota-anggota baru setelahnya ke dalam
daftar para anggota. Inilah yang dinamakan dengan pemasaran berpiramida
atau berjejaring (MLM).

JAWAB:

Alhamdullilah,

Lajnah menjawab pertanyaan diatas sebagai berikut:

Sesungguhnya transaksi sejenis ini adalah haram. Hal tersebut karena tujuan dari transaksi itu adalah komisi dan bukan produk.
Terkadang komisi dapat mencapai puluhan ribu sedangkan harga produk
tidaklah melebihi sekian ratus. Seorang yang berakal ketika dihadapkan
di antara dua pilihan, niscaya ia akan memilih komisi. Karena itu,
sandaran perusahaan-perusaha an ini dalam memasarkan dan mempromosikan
produk-produk mereka adalah menampakkan jumlah komisi yang besar yang
mungkin didapatkan oleh anggota dan mengiming-imingi mereka dengan
keuntungan yang melampaui batas sebagai imbalan dari modal yang kecil
yaitu harga produk. Maka produk yang dipasarkan oleh
perusahaan-perusaha an ini hanya sekedar label dan pengantar untuk
mendapatkan komisi dan keuntungan.

Tatkala ini adalah hakikat dari transaksi di atas, maka dia adalah haram karena beberapa alasan:

Pertama, transaksi tersebut mengandung riba dengan
dua macam jenisnya; riba fadhl[5] dan riba nasi’ah[6]. Anggota membayar
sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar
darinya. Maka ia adalah barter uang dengan bentuk tafadhul (ada selisih
nilai) dan ta’khir (tidak cash). Dan ini adalah riba yang diharamkan
menurut nash dan kesepakatan[7]. Produk yang dijual oleh perusahaan
kepada konsumen tiada lain hanya sebagai kedok untuk barter uang
tersebut dan bukan menjadi tujuan anggota (untuk mendapatkan keuntungan
dari pemasarannya) , sehingga (keberadaan produk) tidak berpengaruh
dalam hukum (transaksi ini).

Kedua, ia termasuk gharar[8] yang diharamkan
menurut syari’at, karena anggota tidak mengetahui apakah dia akan
berhasil mendapatkan jumlah anggota yang cukup atau tidak?. Dan
bagaimanapun pemasaran berjejaring atau piramida itu berlanjut, dan
pasti akan mencapai batas akhir yang akan berhenti padanya. Sedangkan
anggota tidak tahu ketika bergabung didalam piramida, apakah dia berada
di tingkatan teratas sehingga ia beruntung atau berada di tingkatan
bawah sehingga ia merugi? Dan kenyataannya, kebanyakan anggota piramida
merugi kecuali sangat sedikit di tingkatan atas. Kalau begitu yang
mendominasi adalah kerugian. Dan ini adalah hakikat gharar, yaitu
ketidakjelasan antara dua perkara, yang paling mendominasi antara
keduanya adalah yang dikhawatirkan. Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam telah melarang dari gharar sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim
dalam shahihnya.

Tiga, apa yang terkandung dalam transaksi ini
berupa memakan harta manusia dengan kebatilan, dimana tidak ada yang
mengambil keuntungan dari akad (transaksi) ini selain perusahaan dan
para anggota yang ditentukan oleh perusahaan dengan tujuan menipu
anggota lainnya. Dan hal inilah yang datang nash pengharamannya dengan
firman (Allah) Ta’ala,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil” [An-Nisa’:29]

Empat, apa yang terkandung dalam transaksi ini
berupa penipuan, pengkaburan dan penyamaran terhadap manusia, dari sisi
penampakan produk seakan-akan itulah tujuan dalam transaksi, padahal
kenyataanya adalah menyelisihi itu. Dan dari sisi, mereka
mengiming-imingi komisi besar yang seringnya tidak terwujud. Dan ini
terhitung dari penipuan yang diharamkan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda,

“Siapa yang menipu maka ia bukan dari saya” [Dikeluarkan Muslim dalam shahihnya]

Dan beliau juga bersabda,

“Dua orang yang bertransaksi jual beli berhak menentukan pilihannya
(khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya saling jujur dan
transparan, niscaya akan diberkati transaksinya. Dan jika keduanya
saling dusta dan tertutup, niscaya akan dicabut keberkahan
transaksiny.”[Muttafaqun’Alaihi]

Adapun pendapat bahwa transaksi ini tergolong samsarah[9], maka itu
tidak benar. Karena samsarah adalah transaksi (dimana) pihak pertama
mendapatkan imbalan atas usahanya mempertemukan barang (dengan
pembelinya). Adapun pemasaran berjejaring (MLM), anggotanya-lah yang
mengeluarkan biaya untuk memasarkan produk tersebut. Sebagaimana maksud
hakikat dari samsarah adalah memasarkan barang, berbeda dengan
pemasaran berjejaring (MLM), maksud sebenarnya adalah pemasaran komisi
dan bukan (pemasaran) produk. Karena itu orang yang bergabung (dalam
MLM) memasarkan kepada orang yang akan memasrkan dan seterusnya[10].
Berbeda dengan samsarah, (dimana) pihak perantara benar-benar
memasarkan kepada calon pembeli barang. Perbedaan diantara dua
transaksi adalah jelas.

Adapun pendapat bahwa komisi-komisi tersebut masuk dalam kategori
hibah (pemberian), maka ini tidak benar, andaikata (pendapat itu)
diterima, maka tidak semua bentuk hibah itu boleh menurut syari’at.
(Sebagaimana) hibah yang terkait dengan suatu pinjaman adalah riba.
Karena itu, Abdullah bin Salam berkata kepada Abu Burdah
radhiyallahu’anhuma,

“Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang riba tersebar
padanya. Maka jika engkau memiliki hak pada seseorang kemudian dia
menghadiahkan kepadamu sepikul jerami, sepikul gandum atau sepikul
tumbuhan maka ia adalah riba.”[Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dalam
Ash-Shahih]

Dan (hukum) hibah dilihat dari sebab terwujudnya hibah tersebut.
Karena itu beliau ‘alaihish shalatu wa sallam bersabda kepada
pekerjanya yang datang lalu berkata, “Ini untuk kalian, dan ini
dihadiahkan kepada saya.” Beliau ‘alaihish shalatu wa sallam bersabda,

“Tidakkah sepantasnya engkau duduk di rumah ayahmu atau ibumu, lalu
engkau menunggu apakah dihadiahkan kepadamu atau tidak?”
[Muttafaqun’Alaih]

Dan komisi-komisi ini hanyalah diperoleh karena bergabung dalam
sistem pemasaran berjejaring. Maka apapun namanya, baik itu hadiah,
hibah atau selainnya, maka hal tersebut sama sekali tidak mengubah
hakikat dan hukumnya.

Dan (juga) hal yang patut disebut disana ada beberapa perusahaan
yang muncul di pasar bursa dengan sistem pemasaran berjejaring atau
berpiramida (MLM) dalam transaksi mereka, seperti Smart Way, Gold Quest
dan Seven Diamond. Dan hukumnya sama dengan perusahaan-perusaha an yang
telah berlalu penyebutannya. Walaupun sebagiannya berbeda dengan yang
lainnya pada produk-produk yang mereka perdagangkan.

Wabillahi taufiq wa shalallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi.

[Fatwa diatas ditanda-tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Azis Alu
Asy-Syaikh (ketua), Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdullah
Al-Ghudayyan, Syaikh Abdullah Ar-Rukban, Syaikh Ahmad Sair Al-Mubaraky
dan Syaikh Abdullah Al-Mutlaq]

Dikutip dari majalah An-Nashihah volume 14, hal. 12-14

Catatan Kaki :

[1] Qimar adalah seseorang mengeluarkan biaya dalam sebuah transaksi
yang ada kemungkinan dia beruntung dan ada kemungkinan dua merugi
(Penerjemah)

[2] Yaitu jasa sebagai perantara atau makelar

[3] Yaitu komisi khusus bidang riset ilmah dan fatwa. Beranggotakan
ulama-ulama terkemuka di Saudi Arabia bahkan menjadi rujukan kaum
muslimin di berbagai belahan bumi. (Penerjemah)

[4] Kadang disebut dengan istilah Pyramid Scheme, network marketing atau multi level marketing (MLM). (Penerjemah)

[5] Riba fadhl adalah penambahan pada salah satu dari dua barang
ribawy (yaitu barang yang berlaku pada hukum riba) yang sejenis dengan
transaksi yang kontan (Penerjemah)

[6] Riba nasi’ah adalah transaksi antara dua jenis barang ribawy
yang sama sebab ribanya dengan tidak secara kontan. (Penerjemah)

[7] Maksudnya menurut nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kesepakatan para ulama. (Penerjemah)

[8] Gharar adalah apa yang belum diketahui akan diperoleh atau tidak, dari sisi hakikat dan kadarnya. (Penerjemah)

[9] Maksudnya jasa sebagai perantara atau makelar. (Penerjemah)

[10] Pengguna barang tersebut adalah anggota MLM, hal ini dikenal dengan istilah user 100%. (editor)

Sumber: Milis Salafi-Indonesia@yahoogroups.com

dikutip dari http://www.darussalaf.org/stories.php?id=402

[Image]

Minggu, 25 Januari 2009

KE MANA KITA HENDAK BERLINDUNG …?

Adalah suatu perkara yang wajar, bila setiap orang merasa takut dan khawatir akan ditimpa suatu kejelekan, musibah, dan perkara-perkara lain yang tidak disukainya. Namun manusia tidaklah selalu akan terhindar dari perkara-perkara yang tidak disukainya tersebut, di samping dia juga pasti mendapatkan perkara-perkara yang dia inginkan. Itulah kehidupan. Dengan penuh keadilan dan kebijaksanaan-Nya, Allah ? telah takdirkan itu semua kepada semua makhluk-Nya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
? مَاأَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذلِكَ عَلى اللهِ يَسِيْرٌ ?
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah .”
(Al Hadiid: 22)
Pada saat muncul perasaan khawatir dan takut (suatu kejelekan akan menimpa dirinya) itulah, seorang manusia butuh untuk mendapatkan perlindungan, dengan harapan agar dia terhindar darinya.
Allah ?, dengan rahmat dan kasih sayang-Nya telah memberikan petunjuk melalui lisan Rasul-Nya ? kepada umat manusia ini, bagaimana seyogyanya bagi seorang hamba dalam meminta perlindungan. Allah ?, sebagai pencipta kebaikan dan kejelekan, dan pengatur alam semesta ini, sudah sepantasnyalah, bagi seorang hamba untuk menjadikan Dia sebagai satu-satunya tempat berlindung dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan.
Allah ? berfirman:
? اللهُ الصَّمَدُ ?
“Allahlah satu-satunya tempat bergantung.”
(Al Ikhlas: 2)
Namun kenyataannya, kita lihat sebagian kaum muslimin masih ada yang menjadikan tempat berlindung mereka selain Allah ?. Ketika akan mengadakan hajatan atau pesta pernikahan misalnya, mereka mendatangi kuburan yang diyakini sebagai kuburan wali, meminta perlindungan kepadanya agar acara yang akan diadakannya berjalan dengan selamat. Atau seseorang ketika melewati suatu lembah atau tempat-tempat lain, kemudian dengan lisan dan hatinya, serta penuh dengan kekhusyukan dan perendahan diri, dia mengucapkan kalimat permintaan perlindungan kepada penunggu tempat tersebut dari kalangan jin dan yang lainnya dari selain Allah ? dengan keyakinan agar tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dia dalam perjalanannya.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ?. Mengapa perbuatan-perbuatan tersebut tergolong sebagai perbuatan terlarang? Dan apakah larangan meminta perlindungan kepada selain Allah ? ini berlaku secara mutlak? Karena kita juga dapati ada seseorang yang dimintai perlindungan ternyata dia mampu untuk memberikan perlindungannya kepada orang yang memintanya tadi. Apakah yang seperti ini dibolehkan?

ISTI’ADZAH MERUPAKAN IBADAH
Dalam istilah bahasa Arab, meminta perlindungan biasa disebut dengan Isti’adzahالاِسْتِعَاذَةُ ) ). Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: “Isti’adzah adalah meminta perlindungan kepada Allah ? dan mendekatkan diri ke hadapan-Nya (agar terhindar) dari kejelekan sesuatu.” (Fathul Majid, hal. 195, Asy Syaikh Abdurrahman Alu Asy Syaikh).
Isti’adzah termasuk salah satu bentuk ibadah yang Allah ? perintahkan kepada semua hamba-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah ?, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang batin (tidak tampak) maupun yang lahir (tampak).” (Majmu’ Fatawa, jilid 10, hal. 149).
Allah ? berfirman:
? قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ اْلفَلَقِ ?
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb Penguasa Shubuh.” (Al Falaq: 1)
Dan juga firman-Nya:
? قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ ?
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia.” (An Naas: 1)
Di dalam dua ayat yang agung ini, Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya, untuk beristi’adzah kepada Rabb semesta alam. Tidaklah Allah ? memerintahkan sesuatu kepada hamba-hamba-Nya, melainkan pasti sesuatu tersebut dicintai dan diridhai oleh Allah ?. Maka masuklah Isti’adzah ini ke dalam ruang lingkup ibadah sebagaimana definisi yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tersebut.
Asy Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh dalam Syarh Kitab Tsalatsatil Ushul halaman 51 berkata: “Sebagian besar Ahlul Ilmi telah mengatakan bahwa Isti’adzah merupakan Ibadah Qalbiyyah.” Dalam kitabnya yang sama, beliau juga berkata: “Suatu ibadah tidaklah pantas ditujukan kecuali hanya kepada Allah ?, maka barangsiapa yang memalingkan sedikit saja dari suatu ibadah kepada selain Allah ?, berarti dia telah menujukan (mempersembahkan) suatu peribadatan kepada selain-Nya.”
Inilah hakekat kesyirikan yang Allah ? larang sebagaimana firman-Nya:
? وَأَنَّ اْلمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا ?
“Bahwa masjid-masjid adalah milik Allah. Maka janganlah kamu beribadah kepada sesuatupun (dari selain Allah) di samping (beribadah kepada) Allah.” (Al Jin: 18)
Di dalam ayat ini Allah ? melarang suatu peribadatan yang ditujukan kepada selain Allah ?, walaupun di samping itu dia juga beribadah kepada-Nya.

HUKUM BERISTI’ADZAH KEPADA SELAIN ALLAH
Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membuat bab dalam Kitabut Tauhid “Bab Termasuk Perbuatan Syirik Adalah Beristi’adzah Kepada Selain Allah.”
Namun, dari sini tidaklah dipahami bahwa setiap Isti’adzah kepada selain Allah ? merupakan perbuatan syirik secara mutlak. Karena jika seseorang beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada orang lain yang dia mampu untuk memberikan perlindungan kepadanya, maka ini dibolehkan. Demikian penjelasan Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Al Qaulul Mufid, jilid 1 hal. 250.
Para pembaca sekalian yang semoga dirahmati Allah ?, bagaimanakah sebenarnya batasan-batasan Isti’adzah itu? Kapan Isti’adzah hanya boleh ditujukan kepada Allah ? saja? Dan kapan pula Isti’adzah kepada makhluk dibolehkan?

ISTI’ADZAH KEPADA ALLAH ?
Terkandung dalam Isti’adzah ini bahwa seorang hamba benar-benar butuh kepada Allah ?, bergantung kepada-Nya, berkeyakinan bahwa hanya Dialah yang mencukupi segala kebutuhan hamba-Nya. Dialah Yang Maha Sempurna sebagai tempat berlindung dari segala sesuatu yang sedang atau akan terjadi, kecil atau besar, baik itu berasal dari manusia atau selainnya. (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 63, karya Asy Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin).
Allah ? berfirman:
? وَ إِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ?
“Dan jika Syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36).
Di dalam ayat yang mulia ini, terkandung perintah agar beristi’adzah kepada Allah ? ketika datang gangguan dari syaithan, mengapa?
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di bahwa sesungguhnya Dialah yang mendengar permohonanmu, Dia mengetahui keadaanmu dan kebutuhanmu yang sangat mendesak untuk mendapatkan perlindungan dan penjagaan-Nya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 750)
Dan firman-Nya:
? قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ اْلفَلَقِ ?
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan Penguasa Subuh.” (Al Falaq: 1)
Dan juga firman-Nya:
? قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ ?
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia.” (An Naas: 1)
Para pembaca sekalian, para ulama ahli tafsir telah memberikan faedah kepada kita tentang kandungan surat ini, di antaranya Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di bahwa sudah seyogyanya kita meminta perlindungan kepada Dzat Yang Mengatur dan Memiliki alam semesta ini. Sebagai konsekuansi dari Rububiyyah-Nya, maka hanya kepada-Nyalah semua peribadatan hamba ditujukan. Beliau berkata: “ …. Maka tidaklah sempurna suatu peribadatan seseorang kecuali dengan menyingkirkan musuh-musuh mereka yang hendak memutuskan dan menghalangi manusia dari beribadah kepada-Nya dan menjadikan manusia masuk ke dalam golongannya sehingga akan menjeratnya ke dalam As Sa’ir (An Naar, pen).” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 938).
Maka apakah pantas jika seorang hamba beribadah dan meminta perlindungan kepada selain Dzat yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta ini???
Allah ? juga berfirman:
? فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْأنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ?
“Maka jika kamu hendak membaca Al Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguan Syaithan yang terkutuk.” (An Nahl: 98).
Berkata Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya: “Ini merupakan perintah dari Allah ? kepada hamba-Nya melalui lisan Nabi-Nya ? jika mereka hendak membaca Al Qur’an, maka hendaknya berlindung kepada Allah ? dari syaithan yang terkutuk.” (Tafsir Al Qur’an Al Adhim, 2 / 607).

ISTI’ADZAH DENGAN SIFAT-SIFAT ALLAH
Termasuk perkara yang disyariatkan pula beristi’adzah dengan sifat-sifat Allah ?, baik berupa sifat Kalam-Nya Keagungan dan Kemulian-Nya ataupun sifat-sifat-Nya yang lain.
Dari Khaulah binti Hakim radhiyallahu ‘anha dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah ? bersabda:
? مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً فَقَالَ أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهً شَيْئٌ حَتَّى يَرْحَلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذلِكَ ?
“Barangsiapa yang singgah di suatu tempat, kemudian berdo’a “Aku berlindung dengan Kalimat Allah Yang Sempurna dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan”, maka tidak ada sesuatupun yang memudharatkan dia sampai dia beranjak dari tempatnya tersebut.” (H.R. Muslim).
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berlindung dengan Kalimat Allah yang merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat-Nya yang sempurna yang tidak ada kekurangan dan aib padanya.
Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Kalimat di sini adalah Al Qur’an.” (Syarh Shahih Muslim, 17 / 26).
Oleh karena itu para ulama berdalil dengan hadits ini bahwa Kalamullah adalah termasuk sifat-sifat-Nya dan bukan makhluk. Karena Isti’adzah kepada makhluk dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Kalau seandainya Kalimat adalah makhluk, maka Rasulullah ? tidaklah akan menuntunkan kepada kita untuk beristi’adzah dengannya. (Al Qaulul Mufid, 1 / 255).
Maka jadilah hadits ini sebagai bantahan terhadap kelompok Mu’tazilah dan yang lainnya yang menyatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Wallahu A’lam.

KAPAN KITA DIBOLEHKAN BERISTI’ADZAH KEPADA MAKHLUK?
Asy Syaikh Abdurrahman Alu Asy Syaikh dalam Fathul Majid hal. 198 membawakan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berkata: “Para ulama seperti Al Imam Ahmad dan yang lainnya telah menyatakan bahwa tidak boleh beristi’adzah kepada makhluk.” Demikian juga yang dinukilkan oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, yang kemudian beliau mengomentari perkataan ini bahwa larangan tersebut tidaklah mutlak, karena larangan beristi’adzah kepada makhluk berlaku untuk perkara-perkara yang hanya Allah ? saja yang mampu melakukannya.
Adapun jika beristi’adzah kepada makhluk yang dia tidak mampu atasnya, maka ini termasuk perbuatan syirik sebagaimana contohnya telah kami sebutkan dalam awal risalah ini.
Dan termasuk dalam larangan ini juga beristi’adzah kepada penghuni kubur (orang yang telah meninggal), karena mereka tidaklah mampu untuk memberikan manfa’at ataupun menimpakan mudharat. Maka Isti’adzah kepada merseka termasuk perbuatan syirik akbar (besar), sama saja apakah dalam beristi’adzah tersebut di kuburannya atau jauh darinya. (Al Qaulul Mufid, 1 / 255-256).
Adapun Isti’adzah kepada makhluk yang dia mampu atasnya, maka ini dibolehkan, namun dengan syarat dia hadir di hadapannya dan dalam beristi’adzah tidak ada unsur perendahan diri dan pengagungan, serta puncak kecintaan kepada makhluk yang dia beristi’adzah kepadanya tersebut, serta tidak ada pula ketergantungan hati kepadanya bahwa hanya dialah yang mampu memberikan perlindungannya.
Berkata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Tidak diragukan lagi bahwa ketergantungan hati kepada makhluk termasuk perbuatan syirik, maka jika kamu menggantungkan hatimu, harapanmu, takutmu, dan semua permasalahanmu kepada seseorang, dan kamu jadikan dia sebagai tempat berlindung, maka ini termasuk syirik karena semua ini tidaklah boleh ditujukan kepada selain Allah ?.” (Al Qaulul Mufid, 1 / 256).
Dalam kitabnya yang lain Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 64-65, beliau menerangkan bahwa memohon perlindungan kepada makhluk yang memungkinkan untuk dijadikan tempat berlindung, baik berupa manusia, tempat, atau yang lainnya, maka ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi ? ketika menyebutkan beberapa fitnah:
? مَنْ تَشَرَّفَ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ وَ مَنْ وَجَدَ فِيْهَا مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ ?
“Barangsiapa yang menengok atau mencarinya, ia akan tenggelam (terjerat) ke dalamnya, dan barangsiapa yang mendapat tempat berlindung, maka hendaklah dia berlindung kepadanya.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim).
Demikian juga dalam Shahih Muslim dari riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang wanita dari Bani Makhzum, yang melakukan pencurian, kemudian dihadapkan kepada Rasulullah ? dan diapun meminta perlindungan kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. (Lihat hadits no. 1689).
Jika ada seseorang yang meminta perlindungan dari kejahatan orang yang dhalim, maka wajib untuk menjaga dan melindunginya sebatas kemampuan yang dimiliki. Akan tetapi jika dia meminta perlindungan dalam rangka kemungkaran ataupun lari dari kewajibannya maka haram hukumnya untuk memberikan perlindungan kepadanya.
BOLEHKAH BERISTI’ADZAH KEPADA JIN?
Dalam kitabnya Taisirul ‘Azizil Hamid halaman 168 Asy Syaikh Sulaiman Alu Asy Syaikh membawakan perkataan Mulla Ali Al Qari Al Hanafi, bahwasanya tidak boleh beristi’adzah kepada jin. Allah ? telah mencela orang-orang kafir karena perbuatan ini. Allah ? berfirman:
? وَ أَنَّه كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَا دُوهُمْ رَهَقًا ?
“Dan bahwasanya ada segolongan laki-laki dari manusia meminta perlindungan kepada segolongan laki-laki dari kalangan jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka ketakutan yang amat sangat.” (Al Jin: 6).
Dahulu orang-orang Arab Jahiliyyah ketika melewati suatu tempat tertentu berlindung kepada penguasa tempat tersebut dari kalangan jin, agar tidak menimpakan kejelekannya kepada mereka. Demikian sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Berkata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Ayat tersebut menunjukkan bahwasanya Isti’adzah kepada jin haram hukumnya, karena tidak memberikan manfaat kepada orang yang memintanya, bahkan justru menambah kepada mereka rasa takut yang luar biasa.” (Al Qaulul Mufid, 1 / 251)
Para pembaca yang dirahmati Allah ?, demikian beberapa perkataan ulama yang mampu kami nukilkan dalam risalah singkat ini. Semoga Allah ? senantiasa menjaga dan melindungi kita dari perkara-perkara yang tidak diridhai-Nya serta memberikan petunjuk-Nya kepada kita untuk senantiasa berpegang teguh kepada jalan yang mengantarkan kepada keselamatan dunia dan akhirat. Amin.

اللَّهُمَّ إِ نِّي أَعُوذُبِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شَيْئًًًا وَأَنَا أَعْلَمُ وَ أَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik kepada-Mu dan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampunan-Mu dari apa-apa yang aku tidak ketahui.”
Wallahu A’lam bish Shawab.

(dikutip dari http://assalafy.org)

Islam Adalah Agamaku..!!!!

Para pembaca, semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberikan keteguhan iman bagi kita semua terkhusus ditengah terpaan fitnah yang begitu dahsyatnya, baik berupa kerancuan dalam memahami agama maupun dorongan nafsu syahwat. Adalah suatu kewajiban bagi kaum muslimin untuk terus mempelajari agama mereka yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta yang mengikuti mereka dengan baik. Agama Islam sudah sempurna dan mengajarkan seluruh aspek kehidupan, baik aqidah (keyakinan), ibadah dan akhlaq maupun mu’amalah. Buletin kali ini membahas beberapa perkara aqidah yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Diantaranya:

1. Islam adalah satu-satunya agama yang benar, diridhoi dan diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla

Dengan datangnya Islam, maka agama-agama yang ada sebelum Islam tidak berlaku lagi dan sekaligus Islam sebagai penghapus agama-agama sebelumnya. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang haq dan diridhoi) disisi Allah adalah Islam.” (Ali Imron: 19)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imron: 85)

Kedua ayat ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa semua agama benar, seperti halnya keyakinan kelompok yang menyebut dirinya sebagai JIL (Jaringan Islam Liberal).

2. Wajib bagi kaum muslimin untuk meyakini tentang kafirnya orang yang beragama dengan agama Yahudi maupun Nashara

Hal ini tidak sebagaimana anggapan kelompok JIL yang tidak meyakini bahwa mereka (Yahudi dan Nashrani) kafir. Kewajiban ini Allah ‘Azza wa Jalla terangkan dalam firman-Nya (artinya):

“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nashrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Diperangi Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (At Taubah: 30)

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”… (Al Maidah: 17, 72)

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Rabb Yang Maha Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Al Maidah: 73)

“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal didalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al Bayyinah: 6)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هٰذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنُ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku dari umat ini, baik ia Yahudi ataupun Nashrani, kemudian mati dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali ia termasuk ahli neraka.” (HR. Muslim no. 384, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

(Diringkas dari Majmu’ Fatawa wa Rasail, Asy Syaikh Al ‘Utsaimin, no.386)

Al Imam Al Bukhari mengatakan, “Saya perhatikan ucapan orang Yahudi, Nashrani dan Majusi, maka saya tidak melihat ada orang yang lebih sesat dari mereka dalam kekafirannya, dan saya sungguh menganggap bodoh orang yang tidak mengafirkan mereka, kecuali orang yang tidak mengetahui kekafiran mereka.” (Khalqu Af’alil Ibad: 19, dinukil dari Makanatu Ahlil Hadits: 22)

Al Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ‘Azza wa Jalla mengatakan dalam rangka menghukumi kafirnya kelompok-kelompok Nashrani … yaitu orang-orang yang mengatakan di antara mereka bahwa Al Masih adalah Allah.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/83)

Kafirnya mereka adalah sesuatu yang ma’lum fiddin bidldlarurah, sangat diketahui dalam agama ini, dan dalilnya demikian banyak. Sehingga benar sekali apa yang dikatakan para ulama bahwa orang yang tidak menganggap mereka kafir berarti kafir juga. Ini disebabkan dia tidak beriman dengan ayat-ayat dan hadits yang menunjukkan kekafiran mereka.

Dengan demikian semua upaya untuk menyatukan agama-agama dengan membenarkan mereka, adalah upaya yang amat jauh dari kebenaran bahkan merupakan kekafiran itu sendiri, baik dinamakan pluralisme, wihdatul adyan atau yang lain.

Lebih parah dari itu semua bila dikatakan bahwa dalam Al Qur`an ada ayat yang mengandung ideologi pluralis, seperti dikatakan orang-orang JIL dalam buku Fikih Lintas Agama (Hal. 20, 21, dan 214). (Dikutip dari Agar Tidak Menjadi ‘Muslim’ Liberal, hal. 87-90)

3. Kaum muslimin juga harus meyakini tentang kafirnya orang-orang yang tidak mengafirkan atau ragu tentang kekafiran Yahudi dan Nashrani

Ayat-ayat yang menunjukkan tentang kafirnya Yahudi dan Nashrani sangat banyak. Maka barangsiapa yang mengingkari kafirnya Yahudi dan Nashrani yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, namun sebaliknya malah mendustakannya, berarti ia telah mendustakan ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al Qur`an dan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan orang yang mendustakan ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla dan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah kafir. Juga barangsiapa yang ragu terhadap kekafiran Yahudi dan Nashrani, maka tidak ada keraguan tentang kekafirannya.

Subhanallah, bagaimana orang ini merasa ridha untuk mengatakan bahwa kita tidak boleh mengatakan kafir kepada Yahudi dan Nashrani, padahal mereka mengatakan bahwa Allah itu adalah tuhan ketiga dari tuhan yang (jumlahnya) tiga?! Padahal Pencipta mereka telah mengafirkan Yahudi dan Nashrani.

Bagaimana ia tidak mau mengafirkan Yahudi dan Nashrani padahal mereka mengatakan bahwa Al Masih adalah putra Allah dan mengatakan tangan Allah itu terbelenggu? Juga mengatakan bahwa Allah faqir dan mereka kaya. Bagaimana ia tidak mau mengafirkan Yahudi dan Nashrani padahal mereka menyifati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan sifat-sifat jelek yang semuanya adalah aib, celaan dan cercaan? (Diringkas dari Majmu’ Fatawa wa Rasail, no.386)

4. Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menghadiri Hari Raya Orang-Orang Kafir

Kita kaum muslimin dilarang ikut serta dalam acara hari raya orang-orang kafir. Karena menghadiri atau ikut serta dalam acara hari raya mereka mengandung unsur pembenaran dan dukungan terhadap agama mereka. Juga mengandung unsur tolong-menolong dalam hal perbuatan dosa. Sedangkan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan saling tolong-menolonglah diatas kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kalian saling tolong-menolong diatas perbuatan dosa dan permusuhan.” (Al Maidah: 2)

(Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail, no.391)

5. Kaum muslimin dilarang saling memulai mengucapkan salam kepada orang-orang kafir

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَبْدَؤُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَمِ

“Janganlah kalian memulai (mengucapkan) salam kepada orang-orang Yahudi dan Nashara.” (HR. Muslim)

(Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail, no.392)

Penutup

Para pembaca yang mulia, itulah diantara prinsip-prinsip agama yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Maka kita harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya termasuk dalam permasalahan aqidah (keyakinan). Jangan sampai kita mengedepankan akal kita yang amat sangat terbatas atau perasaan kita yang cenderung lemah. Kita harus yakin tentang kafirnya orang-orang yang telah dikafirkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Dan kita tidak boleh ragu-ragu tentang kekafiran mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “…adapun yang berkeyakinan bahwa orang yang punya ma’rifat dan tahqiq boleh beragama dengan agama Yahudi atau Nashrani, serta tidak wajib untuk berpegang teguh dengan Al Qur`an dan As Sunnah dan siapa saja yang sejenis dengan mereka, maka sesungguhnya mereka itu adalah para munafiqin dan zindiq…”

Beliau juga mengatakan, “…Kekafiran mereka (yang membolehkan keluar dari jalan Islam) bisa jadi sejenis kekafiran Yahudi dan Nashrani bahkan mungkin lebih berat dari itu atau yang lebih ringan sesuai dengan keadaan mereka.“ (Agar Tidak Menjadi ‘Muslim’ Liberal, hal. 401-402, dinukil dari Majmu’ Al Fatawa: (28/571) dan (24/339), lihat pula buku Mazhahiru Inhirafati Aqadiyyati… (2/521))

Jika kita ragu tentang kekafiran mereka, maka kita telah ragu kepada ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla. Dan orang yang ragu dengan ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla, berarti ia telah kafir. Jika ragu saja sudah menyebabkan seseorang jatuh ke dalam kekafiran, apalagi mengingkari tentang kekafiran mereka.

Wallahu a’lam bish shawab.

(Fatwa Asy Syaikh Al ‘Utsaimin selengkapnya dan pembahasan yang lebih terperinci dapat dibaca di majalah Asy Syari’ah Vol I/No.10/1425H/2004, artikel dengan judul Yahudi dan Nashrani adalah orang kafir; dan buku Agar Tidak Menjadi ‘Muslim’ Liberal, karya Qomar Su’aidi ZA, Lc.)
Cari
(dikutip dari http://assalafy.org)

Assalamu'alaykum


Bismillahirrohmanirrohiim....
Semoga Alloh Subhanahuwata’ala menganugrahkan kepada kami rasa ikhlas dalam beramal melalui blog ini dan mencatatnya sebagai amal sholeh yang diterima
Postingan dalam blog ini merupakan nukilan dari perkataan dan tulisan para ulama salaf yang kami ambil dari buku yang kami punya dan taklim yang kami ikuti dari para ustadz yang Insya Alloh bermanhaj salaf, selain itu InsyaAlloh kami juga akan memposting artikel dalam beberapa bidang seperti kehamilan, persalinan, bayi, balita, kesehatan dan beberapa bidang lainnya, dimana artikel tersebut kami ambil dari beberapa website atau dari buletin dan majalah. Kami tetap mengikuti kode etik dalam mengutip artikel yaitu dengan menyertakan sumber tulisan, InsyaAlloh....semoga apa yang kami sajikan dalam blog ini dapat berguna untuk semua, Amin....